Dalam sebuah tulisan yang meninjau kembali peristiwa sejarah 30 September 1965, seyogianya penamaan peristiwa itu disepakati dulu. Ada yang menyebutnya G30S, Gestapu, Gestok, atau G30S/PKI. Munculnya beragam penamaan itu berdasarkan perspektif orang/kelompok yang menamakannya.
Yang paling objektif tentu saja menyebut peristiwa sebagaimana yang ditulis pelaku gerakan tersebut, yaitu Gerakan 30 September. Itu yang tercantum secara nyata dalam dokumen-dokumen yang dikeluarkan Letnan Kolonel Untung tertanggal 1 Oktober 1965 mengenai pembentukan dewan revolusi serta penurunan dan penaikan pangkat.
Kemudian, muncul penafsiran yang berbeda-beda tentang dalang peristiwa tersebut. Hal itu tentu sah saja (PKI, Soekarno, Soeharto, AD, CIA, dan seterusnya). Namun, pada masa Orde Baru pemerintah menetapkan versi tunggal, yakni PKI adalah dalang Gerakan 30 September sehingga penulisannya dibakukan menjadi G30S/PKI.
Setelah Soeharto berhenti menjadi Presiden RI 1998, bermunculan buku-buku yang tentunya dilarang bila terbit semasa Orde Baru. Berbagai buku terbit tentang beragam versi mengenai Gerakan 30 September. Tidak mengherankan dalam kurikulum 2004 (kurikulum berbasis kompetensi) peristiwa itu disebut G30S dan pada tingkat SMA diajarkan versi-versi mengenai G30S.
Namun, dalam kurikulum 2006 (kurikulum tingkat satuan pendidikan), Departemen Pendidikan Nasional kembali ke era Orde Baru dengan menetapkan penulisan peristiwa itu sebagai G30S/PKI. Tentu persoalan itu menimbulkan kebingungan masyarakat, terutama guru dan siswa serta Depdiknas yang bertanggung jawab atas dampak kebijakannya.
Kacaunya kurikulum 2006 itu tampak dalam periodisasi sejarah yang dijadikan standar kompetensi untuk tingkat SMA, yaitu merekonstruksi pergantian pemerintahan masa awal kemerdekaan (1945-1955), demokrasi terpimpin (1955-1967), ke masa pemerintahan Orde Baru (1967-1998), sampai periode reformasi (sejak 1998-sekarang). Apa yang dimaksud sebagai masa awal kemerdekaan? Kenapa harus berakhir 1955? Kenapa pada 1955 berlangsung pemilihan umum? Apakah pemilu yang pertama itu menandai dimulainya masa demokrasi terpimpin?
Pada butir lain, periode 1955-1967 disebut Orde Lama. Mana yang benar? Kalau begitu, Orde Lama itu identik dengan demokrasi terpimpin? Kurikulum 2006 (kurikulum tingkat satuan pendidikan) yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22, 23, dan 24/2006 itu tidak dibuat secara profesional.
Prolog dan Epilog
Apa yang terjadi pada 30 September/1 Oktober 1965 tentu tidak bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa sebelumnya. Secara internasional, pada masa itu terjadi perang dingin antara blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan blok Timur di bawah Uni Soviet. AS yang berperang di Vietnam tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Di dalam negeri, kekuatan politik saat itu mengerucut kepada tiga unsur, yakni Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI. Pada tingkat masyarakat telah timbul konflik horizontal antara kelompok kiri dan kalangan Islam (terutama yang memiliki tanah luas) dalam kasus landreform yang ditegakkan melalui 'aksi sepihak' PKI dan BTI. Di kalangan seniman juga terjadi polemik keras antara kubu Lekra dan kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Konflik-konflik itu diperparah dengan situasi ekonomi yang sulit dan musim kering berkepanjangan yang menyebabkan gagalnya banyak panen petani. Barang kebutuhan sehari-hari menjadi langka.
Situasi yang panas itu semakin runcing dengan isu dewan jenderal, dokumen Gilchrist, dan rumor sakitnya Presiden Soeharto. Maka, meletuslah Gerakan 30 September yang dapat ditumpas dalam satu-dua hari. Tetapi, persoalannya tidak berhenti sampai di situ karena peristiwa tersebut menyebabkan kekuasaan Presiden Soeharto goyah secara bertahap. Mayjen Soeharto, figur yang paling diuntungkan dari semua peristiwa itu, naik ke tampuk kekuasaan.
Kontroversi tentang dalang Gerakan 30 September tidak berhenti sampai hari ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah melihat dan mengakui dampak peristiwa itu yang sangat besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Setelah peristiwa itu, terjadilah pembunuhan massal di Jawa-Bali dan beberapa tempat lain yang memakan korban tidak kurang dari 500 ribu orang. Kewarganegaraan ribuan orang (setelah puluhan tahun kini tinggal 570 orang) mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri, terutama di negara-negara sosialis, dicabut dan terhalang pulang. Mereka terlunta-lunta di negeri orang sampai akhirnya mencari suaka dan terpaksa memperoleh kewarganegaraan asing. Pada 1969, lebih dari 10.000 tapol 1965 golongan B dibuang ke Pulau Buru dan melakukan kerja paksa di sana selama lebih dari 10 tahun.
Selain mengalami pembunuhan, penangkapan tanpa proses pengadilan, dan penahanan lebih dari 10 tahun, para korban yang dianggap terlibat langsung/tidak langsung peristiwa itu mengalami stigma buruk dari pemerintah. Keluarga mereka juga mengalami diskriminasi dalam lapangan pekerjaan. Secara keseluruhan, jutaan orang telah menjadi korban. Itulah epilog Gerakan 30 September yang tidak boleh dilupakan.
'Watershed'
Menurut saya, sebaiknya 1965 itu dipandang sebagai watershed, sebagai tanda atau pembatas zaman. Banyak peristiwa yang dialami bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya. Namun, perubahan-perubahan yang terjadi itu biasanya bersifat sektoral, namun pada 1965 dan setelahnya, terjadi perubahan drastis dan secara serempak dalam berbagai bidang kehidupan (politik, ekonomi, dan sosial-budaya).
Perubahan politik yang besar adalah bergesernya kedudukan Indonesia dari pemimpin negara nonblok dan dunia ketiga menjadi 'murid yang baik' Amerika Serikat. Kebijakan ekonomi berdikari berubah menjadi kebijakan ekonomi pasar yang bergantung pada modal asing dan utang luar negeri. Tidak pernah terdengar lagi ucapan go to hell with your aid. Pada bidang budaya, semua kegiatan disesuaikan dengan pembangunan. Tidak ada kritik dan tidak boleh polemik, semua harus mengikuti asas tunggal yang ditetapkan pemerintah. Budaya makan pun didikte kepentingan ekonomi konglomerat. Mi menjadi makanan wajib kaum miskin dan para pengungsi bencana alam. Indonesia yang tidak mempunyai satu hektare lahan gandum menjadi pengimpor tanaman tersebut dan menjadi pengekspor terbesar mi mengalahkan negara-negara Asia Timur yang secara tradisional menu mereka memang demikian. Bagaimana dengan kepentingan petani beras Indonesia? Ah, siapa yang peduli dengan mereka.
Penulis : Asvi Warman Adam
Ahli Peneliti Utama LIPI
Sumber : Media Indonesia (1 Oktober 2007)
diambil dari http://www.lipi.go.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar